Aneh

Sebuah Cerita Pendek

G Sidharta
4 min readMay 23, 2020

Hari ini kantin juga terlihat sepi, sama seperti terakhir kali Ardi makan di situ, sekitar dua minggu yang lalu. Walau di sekitarnya banyak kursi dan meja yang kosong, Ia memilih meja panjang yang menghadap jendela, dan menaruh botol minumnya. Di meja, ada sebuah kertas terlaminasi, yang berisikan tata cara makan di tempat umum. “Sampe hafal gue ngeliat ginian terus,” gumamnya, sambil berjalan ke kios penjual, dan berdiri mengantri.

Pengelola gedung memang tidak tanggung-tanggung. Dari masuk kantin, pengunjung sudah disambut dengan kertas tata cara tersebut yang dipampang di pintu. Ketika masuk, ada beberapa poster besar yang berisikan hal yang sama yang ditempel di dinding, dengan visualisasi.

Sambil melamun menunggu antrian, tak sadar Ardi membaca lagi poster yang ada di dinding.

“SELALU GUNAKAN MASKER, KECUALI SAAT SEDANG MAKAN”

“JAGA JARAK ANTRIAN. IKUTI PETUNJUK DI LANTAI”

“JAGA JARAK DUDUK ANDA. JANGAN DUDUK BERSEBELAHAN DAN BERDAMPINGAN”

“MAKAN DENGAN TENANG, JANGAN SAMBIL BERBINCANG”

“JAGALAH KEBERSIHAN DAN KESEHATAN ANDA”

“Woi! Bengong aja, Pak.”

Ardi pun terbangun dari lamunannya, dan menoleh ke arah suara itu. Di belakangnya berdiri sosok yang familiar, namun butuh beberap saat untuk mengenalinya karena masker yang menutupi mukanya. “Weey, Pak Bro!” Ardi mengangkat lengan dan mengepal tangannya ke arah Ramdan, yang disambut olehnya dengan tinju pelan. “Apakabar lo, Dan? Lagi shift kantor? Kok ngga pernah ketemu kita?”

“Iya, tim gue jadwal ngantornya tiap Selasa sama Jumat, tapi bos gue ngebebasin, boleh ngantor boleh WFH, jadi gue biasanya WFH aja. Ini kebetulan bini gue perlu ke kantor hari ini, dan sore ada urusan juga, jadi sekalian deh.” Jawab Ramdan, “Lo ngantor terus, Di?”

“Tim gue Rabu sama Jumat, ya sama sih dibebasin, gue juga biasanya WFH juga. Tadi pagi ada meeting sama client, mereka minta jangan pake Zoom, jadi yaudah gue minta ke sini aja mereka,” ujar Ardi, “Terus gimana bro? Aman?”

Sulit melihat reaksi orang yang mengenakan masker, tapi Ardi bisa merasakan ekspresi Ramdan berubah. “Yaah.. Sejauh ini gue aman bro, tapi deg-degan juga sih, timnya si Ganes dua minggu lalu baru aja di-cut setengahnya.”

“Anjir. Ngeri juga. Dia masih megang Ops? Lo megang apa sih sekarang?”

“Iya dia Ops Supply, gue di Service Excellence. Kita report ke bos yang sama. Makanya ngeri juga. Bismillah aja deh gue.” Ujarnya, “Lo gimana? Gue denger di unit bisnis lo aman-aman aja, cuan masih kenceng kan lagi begini?”

“Di tim gue sejauh ini masih aman, tapi ada beberapa bagian yg gue denger kena cut juga. Soal cuan, ya ngga bisa dibilang gitu juga sih. Emang ada beberapa kategori yang lebih rame, tapi ada yang jatoh banget juga kan, jadi ya sama aja. Overall sih turun juga, bro.” Jawab Ardi.

“Sampe kapan ya, bakal begini?” Gumam Ramdan.

Sebelum bisa menjawab dan mencurahkan kekesalannya mengenai keadaan, penjaga kios keburu memanggil Ardi untuk gilirannya mengambil makanan. Setelah mengambil makanan, membayar, dan menunggu Ramdan selesai, mereka berdua berjalan menuju meja.

“Ntar lanjut lagi ngobrolnya, Pak. Makan dulu, laper banget gue.” Ujar Ardi, yang dijawab dengan acungan jempol dari Ramdan. Mereka berdua melepas masker, dan mulai makan dengan tenang, tanpa berbincang seperti instruksi di meja, poster dan pintu.

Sore itu, seperti waktu pulang kantor di bulan-bulan sebelumnya, Ardi berjalan kaki menuju MRT. Sore itu, seperti bulan-bulan sebelumnya, jalanan terlihat ramai dan macet. Ada beberapa orang seperti Ardi yang terlihat menggunakan masker dan menjaga jarak, tapi selain itu juga banyak yang beraktivitas seperti biasa saja, seperti tidak ada apa-apa.

Lewat sebuah bus AC, yang terlihat sepi, dan di belakangnya lewat sebuah angkot yang penuh, dan diikuti oleh para pemotor yang sudah berboncengan lagi. Antrian masuk stasiun MRT juga ramai, yang diawasi oleh petugas dan diberikan markah penjaga jarak.

Aneh rasanya, pikir Ardi. Sudah beberapa bulan, batasan-batasan dan larangan-larangan yang sebelumnya ada, diangkat oleh pemerintah, dan diganti oleh himbauan serta anjuran baru. New Normal, kata mereka. Tapi semua ini tidak terasa normal, pikirnya.

Aneh rasanya, bisa beraktivitas di luar setelah berbulan-bulan membatasi ruang gerak pribadi, keluar rumah benar-benar seperlunya saja.

Aneh rasanya, setelah lama berdiam di rumah, membayangkan bisa berpergian lagi, membayangkan betapa berbeda keadaan nantinya, dan menemukan kenyataan yang tidak jauh beda dengan sebelumnya.

Aneh rasanya, setelah hidup dihantui oleh rasa takut dan was-was sekian waktu, dan mendapati banyak orang yang menganggap remeh dan tidak peduli.

Aneh, dan kesal memikirkan pengorbanan Ardi rasa telah lakukan, seperti tidak ada artinya.

Lamunan Ardi buyar ketika ia merasa ada yang bernapas di belakangnya. Ardi menoleh ke belakang, dan terlihat seorang laki-laki yang sepandaran dengan dirinya, masker terkalung di lehernya, dan berdiri cukup dekat dengannya. Cukup dekat untuk merasakan hembus napasnya di belakang kepala.

“Mas, sorry, ikutin markah ya, kan ngga boleh deket-deket berdirinya.” Ujar Ardi, sopan.

“Oh. Iye-iye.” Jawab laki-laki tersebut, rautnya tampak terusik.

“Sama maskernya dipake dong, Mas. Kan aturannya mesti pake masker di tempat umum.” Lanjut Ardi.

Elah.. Iye ntar gue pake kalo udah mau masuk, ini kan masih ngantri. Engep gue kalo pake mulu. Ribet bener jadi orang.” Nadanya meninggi.

Emosi yang tak karuan yang teredam selama berdiam rumah pun terpancing. “Mas. Saya kan ngomong baik-baik. Memakai masker kan juga aturan dari pemerintah, dari WHO bahkan. Bukan buat jaga diri Mas doang, tapi juga buat orang sekitar dan keluarga Mas sendiri. Masa gitu aja ngga ngerti?” Hardik Ardi.

Tiba-tiba, pria itu mendorong Ardi. “Bacot lo!”

Terkejut. Badan terbuncang. Emosi membuncah. Tanpa sadar tangan Ardi terkepal, lengannya berayun, pandangannya gelap.

--

--