Love for Sale — Apa sih maunya?
Sebuah racauan netizen
“Arini itu professional, bukan jahat!”
“Mana yang lebih jahat, Arini Kusuma atau Summer Finn?”
“Ican dan Richard, kejadiannya yang mana dulu ya sebenernya?”
Salah satu tanda bahwa sebuah film adalah karya yang bagus, selain menghibur mayoritas dari penontonnya, adalah dapat mengundang diskusi yang tak berujung, yang bukan hanya membahas bagus/tidaknya film tersebut, namun juga esensi dan interpretasinya. Saat ini, film Indonesia yang bagus sebagai hiburan dan dari sisi sinematografi sih banyak. Tapi kalau yang selain mendapat nilai bagus dalam dua aspek tadi, namun juga memancing diskusi yang tak habisnya, Love for Sale 2 saat ini adalah jawara. Bahkan, ketika membicarakan Love for Sale 2, film pertamanya pun juga pasti terbawa. Seakan tak bisa lepas dari satu sama lain, karena keduanya adalah satu kesatuan yang berkesinambungan, yang pada intinya memberikan sebuah pesan dan ajaran.
Nah, pesan yang saya interpretasikan itulah yang membawa saya untuk menulis di halaman ini. Tadinya sih, mau bikin utasan saja di twitter, tapi saya pikir akan lebih rapih di sini. Oh ya, sebagai peringatan, tulisan ini akan mengandung SPOILER.
Tentang Arini
Jika membicarakan Love for Sale, pembahasan pasti tidak jauh dari tokoh sentral yang digadang-gadang sebagai sosok yang lebih menakutkan dari Iblis sekalipun. Arini. Pendapat saya tentang tokoh yang diperankan dengan baik oleh Della Dartyan sih seperti ini.
Arini itu jago bikin orang nyaman, dan baper. Mungkin suatu hari di masa lampau dia menyadari hal itu, dan mencari cara untuk memonetisasinya. Mungkin saja Love Inc. itu cuma kedok, dibalik aplikasi terserbut hanya ada Arini yang one woman show.
Di film kedua, dia juga sempat menyebutkan bahwa dirinya senang membawa kebahagiaan bagi orang lain. Sebenarnya banyak cara lain untuk membawa kebahagiaan bagi orang lain yang bisa dimonetisasi, misalnya membuka toko es krim, atau jasa antar paket (siapa yang nggak bahagia kan kalau bel rumah berbunyi disertai dengan seruan “paket!”). Tapi melihat tarif yang dia bebankan kepada konsumen, sekitar Rp 24 juta untuk paket 45 hari (ini interpretasi saya dari sebuah adegan di film kedua, yang lalu dicicil selama satu tahun lewat aplikasi Kredivo. Teman-teman saya punya interpretasi lain, seperti Rp 24 juta itu untuk kontrak 1 tahun, atau ada juga yang bilang itu untuk beli kamera yang Arini gunakan di adegan selanjutnya), penghasilannya cukup bersaing kok dengan kelas menengah di Jakarta, dan modal yang dikeluarkan juga sepertinya tidak besar.
Selain itu, saya juga mau mengomentari keahlian Arini dalam mencuri hati kliennya. Sampai sekarang kita belum benar-benar melihat siapa sebenarnya Arini. Kita nggak tahu apakah dia benar seorang Toon Army dan punya hobi Yoga. Apalagi kepribadian aslinya. Tapi Arini bisa membuat kliennya nyaman untuk membuka diri dan hati mereka, serta mengeluarkan sisi terbaik dari para kliennya, seperti perubahan kontras Richard dan Ibu Ros dari yang galak dan menyebalkan, menjadi ramah dan menyenangkan.
Dan hebatnya, semua itu dilakukannya tanpa memberikan janji manis apapun. Kita tidak melihat sekalipun Arini mengeluarkan janji atau kalimat afeksi kepada kliennya. Dan ketika hal tersebut keluar dari kliennya, Arini dengan lihainya merespon dengan pernyataan atau jawaban yang sebenarnya ambigu dan tidak menjawab. Namun yah.. Para klien sedang jatuh cinta, sehingga mereka pun menerima saja. Menurut saya pribadi, ini lebih baik daripada omong kosong atau janji palsu.
“Arini baik? Dia kan udah ghosting Richard dan keluarganya Ican!”
Oke. Oke. Saya di sini bukan mau justifikasi praktik ghosting yang marak terjadi. Saya pernah jadi korbannya, dan pernah juga melakukannya. Saya belajar banyak dari kedua pengalaman tersebut.
Tapi untuk narasi Arini, saya kurang lebih bisa mengerti mengapa dia memilih untuk pergi tanpa pamit. Argumennya adalah, seperti di serial How I Met Your Mother ketika Ted bertemu dengan Victoria untuk pertama kalinya. Mereka bertemu sebagai dua orang asing dan sepakat untuk menjalani malam dengan penuh kesenangan. Ketika malam akan berakhir, Ted bilang bahwa malam itu akan rusak jika ia melihat Victoria pergi. Victoria pun meminta Ted untuk memejamkan mata, dan dia pergi menghilang, sehingga Ted tidak punya kenangan mereka berpisah.
Arini tidak ingin merusak kebahagiaan kliennya dengan sebuah adegan kepergiannya. Iya dia bisa pamit, ke warung kek, main kek, tapi dengan pamit pergi dan tidak kembali lagi, ada risiko dia disebut pembohong. Ada pula opsi untuk mengatakan bahwa masa kontraknya sudah habis dan dia harus pergi. Di kepala saya sih kurang lebih akan seperti ini kejadiannya:
Arini: Maaf, Mas Richard, masa kerja 45 hari saya sudah habis. Besok saya akan pergi ya.
Richard: Jadi selama ini lu cuma main-main aja sama gua?! Brengsek!
Atau..
Arini: Maaf, Mas Ican, masa kerja 45 hari saya sudah habis. Besok saya akan pergi ya.
Ican: Terus nyokap gua gimana? Dia udah sayang banget sama lo!”
Arini: Kalau Mas mau, bisa diperpanjang paketnya.
Ican: Lo udah bikin nyokap gue baper, terus sekarang minta duit lagi. Mau meres gue ya lo!
Rusak deh semua.
Arini sepertinya merasa pergi tanpa pamit adalah opsi terbaik baginya, karena dia menganggap kliennya adalah orang-orang yang dewasa untuk menyikapi situasi tersebut, tidak akan merusak kebahagiaan yang sudah dibangun selama mereka bersama, serta tidak akan membatalkan perubahan positif yang telah mereka alami. Dan ini membawa kita ke poin utama saya.
Jadi intinya apa sih?
Love for Sale 1 & 2 adalah film dewasa. Bukan film syur. Tapi tentang kedewasaan. Dan jelas tentang cinta juga. Kalau digabungkan, menurut saya pesan utamanya adalah hubungan cinta/kasih sayang yang baik, akan memberikan efek yang baik pula, walaupun hubungan itu sudah berakhir, asalkan kita bisa menyikapinya dengan dewasa.
Kita diperlihatkan bagaimana Richard dan Ican serta keluarganya semua bersikap dewasa setelah Arini pergi dari kehidupan mereka. Mereka melakukan introspeksi diri. Mereka mempertahankan efek baik yang telah Arini bawa ke hidup mereka. Mereka sadar bahwa semua telah terjadi, tak banyak yang mereka bisa lakukan selain mengambil hikmahnya, dan menyadari bahwa dunia tidak berhutang apa-apa kepada mereka.
Ketika Arini pergi, yang Richard bilang adalah “Arini sudah beberapa hari tidak pulang. Mungkin saya ada salah sama dia,” bukan pergi mabuk-mabukan dan menjelek-jelekkannya. Ketika Arini pergi, yang Ibu Ros lakukan adalah mendoakan keselamatannya dimanapun dia berada, bukan menggosipinya dengan tetangga. Ketika Arini pergi, yang Ican lakukan adalah menghibur ibunya, karena walaupun dia juga sedih, dia sadar ibunya lebih terpukul lagi dengan kepergian anak perempuan yang selalu beliau impikan, bukan membuat utasan di Twitter.
Kedua film ini sangatlah idealis dan mencoba untuk menggugah kedewasaan penontonnya. Memang lebih mudah untuk menyerah kepada emosi negatif dan melampiaskannya dengan cara yang tidak dewasa. Tapi, jika kamu benar-benar sayang, kamu rela mencemarkan kenangan indah yang ada? Jika kamu benar-benar cinta, kamu rela merusak sosok dirinya demi ego yang tidak bisa menerima bahwa memang bukan jalannya? Apakah tidak lebih elok untuk bangkit, tersenyum, bersyukur untuk hal indah yang pernah terjadi dalam hidup, dan melangkah maju sebagai manusia yang lebih baik?