Ujian

Sebuah Cerpen

G Sidharta
5 min readJul 9, 2021

“Lo ngapain, Ton? Mau pergi? Yakin lo?”

Toni tidak menghiraukan pertanyaan Adit yang bersandar di kusen pintu kamar kost-nya, dan terus memasukkan barang ke ranselnya. Terlihat pakaian, makanan dan minuman berserakan di ranjang Toni.

“Lo jangan gila deh. Itu di luar udah 3 hari chaos, polisi sama tentara juga udah bubar semuanya. Udah ngga ada lagi negara di sini, abang gue terakhir ngabarin, udah macam rimba aja di tempat dia. Bener-bener yang kuat yang berkuasa. Kita di sini warganya masih baik, masih aman, mending kita stay aja.” ujar Adit, berusaha meyakinkan Toni.

“Iya bener, kayak hutan, termasuk di rumah gue. Nyokap gue tinggal sendiri, Dit. Terakhir ngabarin gue sebelom internet mati, di sana udah mulai ada beberapa yang berisik mau rusuh. Gue musti balik.” jawab Toni, sambil terus menyiapkan ranselnya.

“Lo mau gimana ke sana? Kalo tengah jalan mobil lo dipalak, gimana?”

“Ngga, gue jalan kaki aja. Gue ada ini buat jaga-jaga.” Jawab Toni sambil memasukkan stik Baseball ke ransel dan menutupnya. “Gue cabut dulu, Dit. Lo baek-baek ya.”

Jalanan keluar kompleks terlihat sepi, hanya ada beberapa warga yang sedang keliling berjaga-jaga. Toni sempat dicegat, dan mereka pun mencoba untuk membujuknya untuk mengurungkan niatnya, namun ia tetap bersikeras, dan mereka pun membiarkannya.

“Kamu hati-hati Ton. Semalam saya sempet keluar, ngga jauh tapi, masih ada yang rame-rame, bakar-bakar. Kayaknya abis ngerusuh juga. Kalo ketemu yang bergerombol, ngumpet. Denger-denger udah pada gila semua, ada orang lewat, main digebukin aja.” Ujar Kang Jali, penjaga keamanan setempat. Beliau mengantar Toni sampai ke depan kompleks, dan membukakan blokade jalan. “Mudah-mudahan ibumu aman ya.”

“Iya, Kang. Makasih, ya.” Jawab Toni sambil berlalu.

Memasuki jalanan utama perkotaan, suara teriakan para perusuh semakin terdengar, jantung Toni makin berdegup kencang. Menyusuri pinggiran jalan, terlihat asap hitam yang membumbung dari beberapa mobil, bus, dan gedung. Serpihan kaca dan batu berserakan di tengah jalan.

Juga percikan darah. Di tengah jalan, dan di trotoar. Serta mayat manusia yang tergeletak begitu saja.

Di sekeliling itu semua, para perusuh tengah asik dalam amarah dan anarki. Ada yang asik merusak apapun yang bisa dirusak, dari kendaraan, fasilitas kota, hingga gedung. Ada yang dengan gembira menggotong barang jarahannya. Ada yang tengah berkelahi antara satu sama lain, entah apa alasannya.

Satu hal yang menarik perhatian Toni, adalah betapa beragamnya mereka. Dari anak kecil, remaja, hingga orang tua. Memang banyak yang mengenakan pakaian lusuh, namun tak sedikit yang terlihat seperti tadinya datang dari kalangan ekonomi yang lumayan, terlihat dari pakaian mereka yang sebelum terkena semua keringat, debu dan kotoran lainnya, merupakan pakaian rapih dan bagus.

Beberapa terlihat mengenakan seragam, yang 3 hari sebelumnya masih melambangkan otoritas.

“Gila, kok begini amat ya, manusia?” Gumamnya dalam hati.

Ada juga orang-orang, seperti Toni, yang tidak ambil bagian dalam kekacauan itu, hanya berjalan sambil sesekali mengamati, berhati-hati, tidak ingin menarik perhatian.

Namun, satu orang menarik perhatian Toni. Seorang Pria paruh baya berbadan gemuk. Pria Itu jalan dengan menunduk, berusaha untuk agar mukanya tidak dikenali. Namun Toni ingat dengan wajah Pria Itu, wajah yang selama pandemi kemarin sering terlihat di layar televisi. Tersenyum, seperti semua baik-baik saja.

Pria Itu berjalan mengendap-endap masuk ke sebuah gedung yang sudah tidak berpenghuni, sudah selesai dirusak oleh para perusuh, namun tidak dibakar. Toni pun mengikutinya.

Seraya berjalan menuju gedung tersebut, ingatan Toni tentang Pria Itu bermunculan. Tentang bagaimana dia meremehkan situasi di awal pandemi. Berita tentang pernyataan-pernyataan pria tersebut yang asal, dan tidak berdasarkan sains. Berita tentang keputusan dan kebijakan yang dia buat, yang tidak menolong siapa-siapa.

Dan Toni pun teringat, tepat 3 hari lalu, ketika semua layar di muka bumi ini, di waktu yang sama, tiba-tiba menunjukkan hal yang sama. Siaran pers dari Pria Itu, tiba-tiba berubah, menjadi pesan dari makhluk asing. Pesan yang menyatakan bahwa pandemi ini adalah sebuah ujian dari mereka, untuk menyaring manusia-manusia terpilih, untuk bergabung dengan peradaban mutakhir mereka, di ujung galaksi sana.

Dan yang terpilih adalah penduduk dari negara yang dianggap berhasil menghadapi pandemi ini. Mereka yang akan diberikan teknologi mutakhir, yang masih dalam angan-angan ilmuwan terbaik bumi di masa ini. Teknologi yang bisa menyelesaikan berbagai masalah manusia. Mereka yang sebelum tahun ini berakhir, akan bermigrasi ke sebuah planet baru, yang lebih baik dari Bumi ini, bahkan sebelum dirusak oleh tangan rakus manusia. Untuk memulai kehidupan baru, yang jauh lebih baik, dengan peradaban mutakhir tersebut. Untuk memenuhi semua potensi manusia. Sebuah utopia.

Sedangkan sisanya, tetap tinggal di Bumi ini, dengan segala penyakit dan masalahnya.

Negara yang gagal pun berusaha menenangkan rakyatnya. Ada yang berhasil, namun banyak yang gagal. Pikiran Toni melayang ke konfrensi pers terakhir dari Presiden, yang baru setengah berjalan, diserang oleh mereka yang marah. Karena mereka telah digagalkan oleh negara ini, untuk menjadi bagian dari peradaban mutakhir, untuk merasakan hidup di utopia.

Tak butuh waktu lama, ketika para pengawal pejabat tersebut juga ikut berbalik haluan, dan bergabung dengan para perusuh tersebut karena mereka juga sadar bahwa negara ini telah gagal. Dan dengannya, semua otoritas pun runtuh. Tak ada lagi hukum yang berlaku. Tak ada lagi konsekuensi.

“Halo? Kalian di mana? Saya udah di posisi nih. Udah di gedung, tapi lift mati, saya mesti naik tangga. Kalian yakin kan helikopternya bisa mendarat di atas gedung ini?” Ujar si Pria itu ke ponselnya, terengah-engah, sambil mengawasi keadaan sekitarnya.

Toni masih mengendap-endap, mengikuti Pria itu.

“Oke cepet ya, ini saya mau naik lewat tangga darurat. Saya sampai atas, kalian mesti udah sampai.” Pria Itu memasukkan ponsel ke kantongnya, dan menaiki tangga darurat. Toni terus mengikutinya dengan diam-diam.

Petunjuk di tembok menunjukkan angka 13, ketika Pria Itu mulai kelelahan dan berhenti sejenak. Toni mempercepat langkahnya, dan mengambil stik Baseball dari tasnya.

“Siapa itu?!” ujar Pria itu dengan keras.

Toni pun menghampirinya. “Mau kabur kemana lo, Pak?”

“Siapa kamu?!” Pria itu mencoba bangun untuk lari, dan Toni memukulkan stiknya ke lantai.

Panik, Pria Itu terjatuh lagi ke lantai.

“Tu..Tunggu. Saya ada helikopter! Kita bisa pergi ke negara sebelah! Kita bisa ikut sama mereka semua! Kamu ikut saya ayo!” “Ujar Pria Itu terengah-engah.

“Terus, keluarga dan teman-teman saya? Rakyat yang lain?” Tanya Toni, sambil mengarahkan stiknya ke arah Pria itu.

“Ya kita tidak bisa selamatkan semua, tapi yang penting kan kita selamat.” Jawab Pria itu.

Toni pun tersenyum, “Gitu, ya?” ujarnya, seraya mengayunkan stiknya ke udara.

--

--